Memuja Para Dewa.
Kehidupan masyarakat Hoi An masa lalu, tak lepas dari pemujaan atas para dewa penguasa alam. Bukti konkretnya Japanese Covered Bridge. Sebuah jembatan berlokasi di sebelah barat Jalan Tran Phu. Patung penjaga klenteng kecil di samping penghubung ruas jalan itu adalah dua ekor monyet serta dua ekor anjing. Pada bagian kepala, disampiri kain merah. Secara harfiah menjelaskan, klenteng mulai dibangun pada Tahun Monyet dan berakhir di Tahun Anjing.Klenteng Jembatan Jepang dibuat pemeluk Taoisme untuk menyembah Tran Vo Bac De. Dewa penguasa angin, hujan dan roh jahat. Kisah berdirinya jembatan bermula dari legenda gempa bumi akibat monster raksasa yang kepalanya berada di India, jantung di Hoi An serta ekor di Jepang. Sebagai 'tugu peringatan' atas bertahannya masyarakat Jepang terhadap gempa itu, dibuatlah jembatan yang menjadi landmark paling kondang di Hoi An.
Trieu Chau Assembly Hall, Jalan Nguyen Duy Hieu No 157 merupakan gedung pertemuan kekerabatan masyarakat China dari Trieu Chau (Chaozhou) yang menjadi salah satu tempat berkunjung favorit saya. Letaknya tak jauh dari kafe Trang Moon.
Nuansa kaya warna tersimak dari atap klenteng Trieu Chau yang menampilkan ornamen-ornamen serba detil. Seperti kepala naga dan ikan gurame, tersusun dari pecahan-pecahan keramik berbagai warna. Menurut Kim Hieu, salah satu putra penjaga klenteng, naga dan ikan merupakan ikon satwa paling penting di Hoi An. Sang naga melambangkan perjuangan hidup, sedang si ikan perwujudan sukses dan kemakmuran. Seperti Japanese Covered Bridge, Trieu Chau Assembly Hall juga merupakan tempat pemujaan dewa. Dari altar tempat peribadatan dapat disimak, peruntukannya bagi dewa Ong Bon. Sang pelindung para pelaut China dari keganasan laut badai, termasuk menghalau gelombang tinggi dan tiupan angin taifun.
Sentuhan Seni Dalam Lunpia Basah
Paginya, usai sarapan saya menemukan Brother's Café, tempat bersantap paling terkenal seantero Hoi An. 'Kelas memasak hidangan Vietnam pukul 10.00. Santaplah karya istimewa perdana Anda', demikian bunyi pada papan tulis dekat pintu masuk bangunan kolonial berlantai dua itu.Tak lama kemudian, saya sudah bergabung dengan Dirk dan Anke dari Belanda, serta Pavel dan Marko Baraga dari Slovenia. Mengikuti kelas membuat goi cuon atau vietnamese fresh spring rolls. Hidangan yang sudah akrab sejak saya mencoba resto-resto Vietnam di Tanah Air, juga saat berada di Sai Gon. Tran Giang yang menjadi jurubicara --jembatan komunikasi kami sebagai peserta dengan sang koki-- menyebut, "Belajar kuliner Vietnam merupakan salah satu kegiatan yang banyak diminari turis, utamanya asal Eropa."
Menurut Giang, proses membuat lunpia basah khas Vietnam masuk kategori mudah dibanding sajian lain. Apalagi, kami tak harus membuat sendiri dadar tepung beras super tipis (rice paper). Pihak kafe telah menyiapkan bahan serba jadi, hingga kami tinggal belajar seni menghidangkannya. Meski begitu, tak jarang saya, Pavel dan Marko tertawa geli melihat ketidakpiawaian kami.
Secara teori, selada, daun mulberry, daun ketumbar, daun bawang, irisan mentimun, bihun rebus, sayatan daging sapi atau babi rebus ditambah udang rebus cukup ditumpuk di atas dadar dan digulung. Tapi, untuk menghasilkan tampilan macam disajikan di resto, diperlukan unsur seni. Termasuk membelah udang dari bagian punggung hingga menjadi dua dan diletakkan di bagian terbawah dadar. Hingga saat disajikan, terlihat cantik tampilannya. Karena warna oranye si udang bisa menyembul di antara dedaunan hijau, dari balik rice paper yang tembus pandang.
Usai menyantap hidangan yang kami buat sendiri serta duduk bersantai di halaman belakang Brother's Cafe untuk merasakan semilir angin menyapu pepohonan kelapa tepi Sungai Thu Bon, saya menyusuri kembali ruas-ruas jalan tua Hoi An. Kali itu bersama Marko dan Pavel.
Kami mengadakan inspeksi ke pasar tradisional di ujung persimpangan Jalan Bach Dang dengan Jalan Tran Quy Cap, serta berkunjung ke Minh A di seberang pasar. Tempat ini merupakanguesthouse tradisional tipe sederhana, tanpa pendingin udara, dengan kamar mandi komunal. Meski begitu, banyak dicari para backpacker negeri barat, karena membuka peluang untuk tinggal bersama warga asli Vietnam dalam suasana kekeluargaan.
Petang hari, giliran saya mengenalkan kafe Trang Moon kepada Pavel dan Marko. Saya kembali menikmati iced saigon coffee di sudut atas balkon lantai dua. Merasakan paduan pahit kopi dan manisnya susu kental manis yang melarut sempurna. Dan merasakan remah-remah senja bertaburan di atas Hoi An lagi
No comments :
Post a Comment